4 Indikator Keberhasilan Shaum Ramadhan (Bag. Empat) – Habis

Assalaamu ‘ alaikum wr. wb.

Mari kita lanjutkan pembahasan kita tentang hakekat taqwa, artikel ini merupakan kelanjutan dari trit sebelumnya (Bag.3). Kali ini merupakan bahasan yang terakhir yaitu hakikat taqwa yang Keempat menurut Ali bin Abi Thalib adalah وَالرِّضَا بِالْقَلِيْلِ (Ridho Meskipun Sedikit). Setiap kita pasti ingin mendapat sesuatu khususnya harta dalam jumlah yang banyak sehingga bisa mencukupi diri dan keluarga serta bisa berbagi kepada orang lain. Namun keinginan tidak selalu sejalan dengan kenyataan, ada saat dimana kita mendapatkan banyak, tapi pada saat lain kita mendapatkan sedikit, bahkan sangat sedikit dan tidak cukup.

Orang yang bertaqwa selalu ridha dan menerima apa yang diperolehnya meskipun jumlahnya sedikit, inilah yang disebut dengan qana’ah, sedangkan kekurangan dari apa yang diharapkan bisa dicari lagi dengan penuh kesungguhan dan cara yang halal. Korupsi yang menjadi penyakit bangsa kita hingga sekarang adalah karena tidak ada sikap ridha menerima yang menjadi haknya, akibatnya ia masih saja mengambil hak orang lain dan administrasi serta penguatan hokum atas penyimpangan yang dilakukannya bisa diatur, karenanya Allah swt mengingatkan kita semua dalam firman-Nya:

وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.(QS Al Baqarah [2]:188).

Suatu ketika, Ali bin Abi Thalib baru pulang lebih sore dari biasanya. Isterinya, Fatimah putri Rasulullah menyambut kedatangan suaminya dengan sukacita. Siapa tahu Ali membawa uang lebih banyak karena kebutuhan di rumah makin besar.

Sesudah melepas lelah, Ali berkata kepada Fatimah, “Aku mohon maaf karena tidak membawa uang sepeserpun.”

Tidak nampak sedikitpun kekecewaan pada wajah Fatimah, bahkan ia tetap tersenyum dan bisa memaklumi keadaan suami yang dicintainya. Ali amat terharu terhadap isterinya yang begitu tawakkal meskipun ia tidak bisa memasak malam itu karena memang tidak ada bahan makanan yang bisa dimasak.

Ketika waktu shalat tiba, seperti biasa Ali lalu berangkat ke masjid untuk menjalankan salat berjama’ah. Sepulang dari shalat, seorang yang sudah tua menghentikan langkahnya menuju rumah. “Maaf anak muda, betulkah engkau Ali, anaknya Abu Thalib?”, tanya orang itu.

“Betul”, jawab Ali heran.

Orang tua itu merogoh kantungnya seraya berkata, “Dulu ayahmu pernah kusuruh menyamak kulit. Aku belum sempat membayar ongkosnya, ayahmu sudah meninggal. Jadi, terimalah uang ini, sebab engkaulah ahli warisnya.”

Dengan amat gembira Ali mengambil uang itu yang berjumlah 30 dinar. Sesampai di rumah, Ali kemukakan kepada isterinya rizki yang tidak terduga itu. Tentu saja Fatimah sangat gembira ketika Ali menceritakan kejadian itu. Dan ia menyuruh membelanjakannya semua agar tidak pusing-pusing lagi merisaukan keperluan sehari-hari. Tanpa berpikir panjang, Ali langsung berangkat menuju pasar.

Ketika hampir tiba ke pasar, Ali melihat seorang fakir menadahkan tangan, “Siapakah yang mau menghutangkan hartanya untuk Allah, bersedekahlah kepadaku, seorang musafir yang kehabisan bekal di perjalanan.”

Tanpa berpikir panjang lebar, Ali memberikan seluruh uangnya kepada orang itu dan Ali pulang dengan tangan kosong. Tentu saja melihat sang suami pulang tidak bawa apa-apa, Fatimah terheran-heran. Ali menerangkan peristiwa yang baru saja dialaminya dan ini justeru membuat Fatimah begitu terharu terhadap sang suami. Dengan diiringi senyum yang manis, Fatimah berkata: “Apa yang engkau lakukan juga akan aku lakukan seandainya aku yang mengalaminya. Lebih baik kita menghutangkan harta kepada Allah daripada bersifat bakhil yang dimurkai-Nya.”

Sikap menerima membuat kita bisa bersyukur dan bersyukur membuat kita akan memperoleh rizki dalam jumlah yang lebih banyak, bahkan bila jumlahnya belum juga lebih banyak, rasa syukur membuat kita bisa merasakan sesuatu yang sedikit terasa seperti banyak sehingga yang merasakan manfaatnya tidak hanya kita dan keluarga tapi juga orang lain. Inilah diantara makna yang harus kita tangkap dari firman Allah swt:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS Ibrahim [14]:7).

Demikianlah sobat-sobat hakikat taqwa menurut Ali bin Abi Thalib r.a. Semoga kita dapat mengambil hikmah dan manfaatnya untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari selepas bulan Ramadhan ini sebagai bentuk rasa syukur kepada-Nya karena masih diberikan kesempatan beribadah di bulan Ramadhan, semoga kita bisa sampai di bulan Ramadhan tahun depan.

Assalaamu alaikum wr. wb. ________________________________

Referensi : http://www.nuansaislam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=521:mewujudkan-hakikat-taqwa&catid=104:khutbah-id&Itemid=368

4 responses to “4 Indikator Keberhasilan Shaum Ramadhan (Bag. Empat) – Habis

  1. alhamdulillah…

    semoga masih ketemu ramadhan tahun depan…amiin

  2. Jazakumullah Khaoiran Katsiroh . . . Indikator yanga sangat bermanfaat

Tinggalkan komentar